Header Ads

Jendela Nurani: Samarindaku Calap Lagi


SAMARINDA: Hari ini, Samarinda kembali dilanda duka. Banjir bukan hanya sekadar "calap" (genangan), tapi derita yang nyata. Saya merenung dalam diam, menyimak kabar duka dari berbagai sudut kota melalui gawai—longsor di Lempake yang merenggut nyawa, anak kecil hanyut di Bukit Pinang, mobil-mobil terseret arus, dan aktivitas yang lumpuh hampir sehari penuh. Samarinda, kota yang saya cintai, seolah tenggelam dalam kesedihan.
Namun dalam perenungan ini juga, saya menyadari satu hal: kita tak bisa terus-menerus saling menyalahkan. Bahkan menyalahkan pemerintah kota yang saat ini memegang tampuk amanah, rasanya tidak adil. Karena banjir ini bukanlah hal baru. Ia telah menjadi rutinitas puluhan tahun, hadir dari warisan masalah yang tak sederhana.
Pemicu-pemicu banjir ini bukan hanya soal drainase atau alih fungsi lahan hari ini, tapi juga akumulasi dari pilihan-pilihan kita di masa lalu—pilihan pembangunan yang mungkin mengabaikan keseimbangan alam, pilihan hidup yang tak bersahabat dengan lingkungan.
Kita semua punya bagian dalam cerita ini. Maka, menyalahkan satu pihak saja tak akan menyelesaikan apa-apa. Yang kita butuhkan adalah kesadaran kolektif, bahwa memperbaiki Samarinda adalah tanggung jawab bersama—warga dan pemerintah.
Kepada pemerintah kota yang saat ini mengemban amanah, tentu rakyat tetap berharap. Suka tidak suka, mau tidak mau, pemegang tampuk kekuasaan hari ini tetap harus memperjuangkan perbaikan, walaupun akar masalah bukan sepenuhnya buatan mereka. Karena rakyat butuh pengayoman, dan pemimpin sejati adalah mereka yang bersedia memikul beban rakyat, bahkan di saat beban itu terasa bukan berasal dari tangan mereka sendiri.
Maka, saya hanya bisa memohon: semoga pemerintah kita tetap sabar. Tetap ikhlas mendengarkan keluh kesah warga. Jangan anggap protes sebagai serangan, melainkan sebagai ungkapan pedih dari hati yang kecewa namun masih punya harapan kepada pemerintah yang berkuasa.
Samarinda hari ini memang sedang dalam duka. Tapi semoga, dari luka ini, tumbuh kesadaran baru. Semoga derita hari ini menjadi pemantik untuk perubahan yang tulus dan menyeluruh. Samarinda tak bisa terus-menerus hanya bertahan—ia harus bangkit. Dan untuk bangkit, kita semua harus terlibat.
Namun semua ini tidak akan berarti jika kita hanya menuntut tanpa turut serta. Menjaga Samarinda bukan hanya tugas pemerintah—ini adalah tanggung jawab kita bersama. Sudah saatnya kita semua bertanya pada diri sendiri: apa yang telah kita lakukan untuk lingkungan sekitar kita?
Apakah kita sudah hidup bersih? Apakah kita masih membuang sampah sembarangan, menyumbat drainase, menebang pohon seenaknya, membiarkan selokan kotor, dan menutup mata terhadap kerusakan yang perlahan tapi pasti memperparah keadaan?
Kita harus kembali membangun budaya gotong royong. Membersihkan lingkungan tidak perlu menunggu program resmi. Jika setiap RT, setiap keluarga, setiap individu mulai dari hal sederhana—membersihkan selokan di depan rumah, mengajak anak-anak untuk tidak membuang sampah sembarangan, mengelola limbah rumah tangga dengan bijak—maka itu sudah menjadi sumbangsih besar bagi Samarinda.
Lebih dari itu, kita juga harus mewariskan kesadaran ini kepada generasi setelah kita. Anak-anak kita harus tumbuh dengan pemahaman bahwa mencintai lingkungan bukan sekadar urusan dunia, tetapi juga urusan iman. Pendidikan tentang pentingnya menjaga alam harus menjadi bagian dari pembelajaran sejak dini, baik di rumah maupun di sekolah. Agar mereka tidak mengulangi kelalaian kita hari ini.
Karena menjaga lingkungan bukan hanya kewajiban sebagai warga negara, tapi juga amanah dari Allah SWT bagi setiap orang beriman. Dalam Al-Qur’an, manusia disebut sebagai khalifah di muka bumi—pemimpin yang diberi tugas untuk merawat, bukan merusak. Alam ini adalah ciptaan Allah, dan setiap kerusakan yang terjadi karena tangan manusia, adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah suci itu.
Maka biarlah musibah ini menjadi peringatan yang menyadarkan kita. Agar kita kembali ke fitrah kita sebagai penjaga, bukan perusak. Sebab hanya dengan langkah bersama—antara pemerintah yang sabar dan rakyat yang sadar—Samarinda bisa keluar dari siklus banjir ini. Wallahu a'lam.
Kota Pusat Peradaban, Senin 12 Mei 2025

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.